
Sukses itu Lahir dari Sini ...
Barusan gue membaca artikel di sebuah website, artikelnya ngebahas tentang universitas di Indonesia yang masuk deretan world class university versi QS World University Rangkings; berikut urutannya,
![]() |
Pic by: theguardian.com |
1. Universitas Indonesia
Posisi dunia: 310
Skor: 40,9
2. Institut Teknologi Bandung
Posisi dunia: 461-470
3. Universitas Gadjah Mada
Posisi dunia: di atas 701
4. Universitas Airlangga
Posisi dunia: di atas 701
5. Institut Pertanian Bogor
Posisi dunia: di atas 701
6. Universitas Diponegoro
Posisi dunia: di atas 701
7. Institut Teknologi Sepuluh November
Posisi dunia: di atas 701
8. Universitas Brawijaya
Posisi dunia: di atas 701
Kalo peringkat nomer satu-nya? Seperti tahun-tahun sebelumnya, MIT (USA) masih kokoh di puncak klasemen (bola kali), disusul oleh University of Cambridge (Inggris), Imperial College London (Inggris), Harvard University (AS), dan University of Oxford (Inggris).
Bisa dibayangkan, urutan timnas sepakbola di jejeran dunia aja masih lebih mending ketimbang urutan universitas kita di atas,
Nah, kampus kamu ada di urutan ke berapa? :)
---
Sebelum kamu membaca artikel ini lebih jauh, biar maksud tulisan tersampaikan, kita semua harus sepakat bahwa, kesuksesan seseorang itu nggak dipengaruhi oleh lulusan kampus bagus ...ya apalagi kampus biasa ... ... "Kok elo kampret sih, Sam!?"
Selanjutnya, janganlah kamu selalu terstigma sama media, pendapat orang tua, atau saudara bahwa kalau mau sukses mesti sekolah tinggi, ke universitas bagus, dapet nilai bagus, dan seterusnya. Itu nggak terbukti, nggak ada penelitian yang ngebahas keberpengaruhan variabel-variabel itu.
Terus, kesuksesan itu yang kayak gimana donk, Sam? Kesuksesan itu ... lahir dari sini. *nunjuk kelobang pantat kepala
Anyway, kenapa MIT atau Harvard bisa jadi universitas terbaik di dunia? Nggak usah banyak data, nggak usah banyak cerita, satu alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu adalah ... hmm, gue juga nggak tau. *dilempar dari gedung rektorat
Cerita punya cerita, tau Bill Gates dan Mark Zuck, kan? Iya, itu tuh, tukang gorengan di depan gerbang kampus.
Kita semua tau kalo kedua orang itu adalah DO dari Harvard. Tapi, pada tau nggak kenapa Bill dan Mark memutuskan untuk berhenti berkuliah? Atau orang-orang seperti Jobs yang juga berhenti dari Reed Collage? Richard Branson? Michael Dell? Lawrence Ellison? Alasannya, apakah karena mereka bego? Apakah karena mereka selalu ditolak cewek? Apakah karena mereka suka ngutang di warteg? Apakah karena mereka suka dikejar-kejar anjing kampus?, atau, Apakah karena mereka kurang ganteng? Jawabannya, nggak, justru itu gue. *merenungi nasib
Gue suka membacamajalah Playboy, setelah gue baca-baca, ternyata Bill dan Mark memilih keluar dari lingkungan kampusnya, (salah satunya) dikarenakan pemahaman dosen-dosen yang disampaikan ke mereka.
Pemahaman apaan tuh?
Kita paham donk, salah satu indikator akreditasi sebuah institusi pendidikan, salah satunya adalah kualitas tenaga pengajar. Nah, apa perbedaan antara dosen di Harvard dengan dosen di (maaf) Indonesia pada umumnya?
Satu hal yang bisa gue simpulkan adalah, ideologi.
Ternyata, dosen-dosen di universitas di atas, nggak hanya menyampaikan apa-apa yang udah ada di buku, tapi juga menyampaikan banyak hal yang 'nggak diajarkan' dan 'nggak dituliskan' di buku-buku diktat mahasiswa.
Beda sama kebanyakan dosen di Indonesia, yang kalo kuliah, hanya ngejelasin apa-apa yang ada di slide presentasi mereka doank, yang mungkin baru 10 tahun sekali mereka update konten materinya, itu pun kalo mereka inget. Mau bukti? Kalo kamu masih simpen slide kuliah tingkat pertama, dan sekarang kamu udah tingkat 5 ke atas (WOI LULUS WOI!), coba minta slide kuliah ke adek kelas kamu, pasti kontennya masih sama.
Oke, nggak semua dosen begitu. Ada juga dosen-dosen kita yang selalu 'niat mengajar' dan 'niat membimbing' kita. Dan kita semua mengidolakan dosen seperti mereka :)
Anyway, gue lanjutin ke topik.
Dari buku bacaan yang gue baca, dosen-dosen mereka (Bill & Mark), selain mengajarkan materi pokok kuliah (yang tentunya tidak membuat mereka tertarik), mereka juga menyampaikan ke mahasiswa, rencana apa yang akan mereka tempuh setelah kuliah, dan dengan terbuka hati menyampaikan bahwa, "Knowledge yang saya ajarkan di bangku kuliah, tidak menjamin masa depan kalian,"
Dosen-dosen mereka sangat honest, menggambarkan dunia kerja yang penuh persaingan, menyampaikan bahwa mahasiswa harus punya sikap dan knowledge khusus agar punya 'skill pembeda', tapi kemudian tidak menuntut mahasiswa harus bisa ini dan itu ketika di kampus, justru mereka menasihati agar keluar dari zona nyaman, menasihati mahasiswa untuk berani mengambil risiko hidup dengan "Do what you love to do."
Nah, gimana dengan kebanyakan kampus di negeri kita? Gue sih nggak mau men-generalisir, tapi bener nggak? Dosen kita itu kebanyakan tugasnya sangat kaku, yaitu, menuntut semua mahasiswa bisa menguasai knowledge yang sama. Jadi pas mahasiswanya lulus, ribuan mahasiswa yang punya knowledge yang sama tadi, 'dipaksa' bersaing untuk mengisi satu bangku lowongan kerja. Apalagi, sekarang kuliah wajib hadir 100%, bisa dibayangkan, gimana caranya mahasiswa punya waktu untuk mencari 'knowledge' yang lain? (Knowledge = waktu buat jalan-jalan ke mol)
Nggak heran kan, kalo kampus itu mirip mesin fotocopy.
---
Duh, daritadi ngebahas kampus mulu, takut dosa ah.
Ternyata, fyi, satu sikap yang dimiliki oleh orang-orang yang berhasil itu adalah tidak hanya think out of the box, melainkan berani untuk jump out of the box (R. Kasali).
Yups. mahasiswa juga harus bisa mengambil sikap, dan juga berani mengambil risiko. "Dimana ngambilnya, Sam? Di rektorat!"
Akhir dari posting ini, semoga bisa bermanfaat, tapi kalo kamu merasa terprovokasi dan marah, kamu boleh banting leptop kamu, aku ikhlas :)
Skor: 40,9
2. Institut Teknologi Bandung
Posisi dunia: 461-470
3. Universitas Gadjah Mada
Posisi dunia: di atas 701
4. Universitas Airlangga
Posisi dunia: di atas 701
5. Institut Pertanian Bogor
Posisi dunia: di atas 701
6. Universitas Diponegoro
Posisi dunia: di atas 701
7. Institut Teknologi Sepuluh November
Posisi dunia: di atas 701
8. Universitas Brawijaya
Posisi dunia: di atas 701
Kalo peringkat nomer satu-nya? Seperti tahun-tahun sebelumnya, MIT (USA) masih kokoh di puncak klasemen (bola kali), disusul oleh University of Cambridge (Inggris), Imperial College London (Inggris), Harvard University (AS), dan University of Oxford (Inggris).
Bisa dibayangkan, urutan timnas sepakbola di jejeran dunia aja masih lebih mending ketimbang urutan universitas kita di atas,
Nah, kampus kamu ada di urutan ke berapa? :)
---
Sebelum kamu membaca artikel ini lebih jauh, biar maksud tulisan tersampaikan, kita semua harus sepakat bahwa, kesuksesan seseorang itu nggak dipengaruhi oleh lulusan kampus bagus ...
Selanjutnya, janganlah kamu selalu terstigma sama media, pendapat orang tua, atau saudara bahwa kalau mau sukses mesti sekolah tinggi, ke universitas bagus, dapet nilai bagus, dan seterusnya. Itu nggak terbukti, nggak ada penelitian yang ngebahas keberpengaruhan variabel-variabel itu.
Terus, kesuksesan itu yang kayak gimana donk, Sam? Kesuksesan itu ... lahir dari sini. *nunjuk ke
Anyway, kenapa MIT atau Harvard bisa jadi universitas terbaik di dunia? Nggak usah banyak data, nggak usah banyak cerita, satu alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu adalah ... hmm, gue juga nggak tau. *dilempar dari gedung rektorat
Cerita punya cerita, tau Bill Gates dan Mark Zuck, kan? Iya, itu tuh, tukang gorengan di depan gerbang kampus.
Kita semua tau kalo kedua orang itu adalah DO dari Harvard. Tapi, pada tau nggak kenapa Bill dan Mark memutuskan untuk berhenti berkuliah? Atau orang-orang seperti Jobs yang juga berhenti dari Reed Collage? Richard Branson? Michael Dell? Lawrence Ellison? Alasannya, apakah karena mereka bego? Apakah karena mereka selalu ditolak cewek? Apakah karena mereka suka ngutang di warteg? Apakah karena mereka suka dikejar-kejar anjing kampus?, atau, Apakah karena mereka kurang ganteng? Jawabannya, nggak, justru itu gue. *merenungi nasib
Gue suka membaca
Pemahaman apaan tuh?
Kita paham donk, salah satu indikator akreditasi sebuah institusi pendidikan, salah satunya adalah kualitas tenaga pengajar. Nah, apa perbedaan antara dosen di Harvard dengan dosen di (maaf) Indonesia pada umumnya?
Satu hal yang bisa gue simpulkan adalah, ideologi.
Ternyata, dosen-dosen di universitas di atas, nggak hanya menyampaikan apa-apa yang udah ada di buku, tapi juga menyampaikan banyak hal yang 'nggak diajarkan' dan 'nggak dituliskan' di buku-buku diktat mahasiswa.
Beda sama kebanyakan dosen di Indonesia, yang kalo kuliah, hanya ngejelasin apa-apa yang ada di slide presentasi mereka doank, yang mungkin baru 10 tahun sekali mereka update konten materinya, itu pun kalo mereka inget. Mau bukti? Kalo kamu masih simpen slide kuliah tingkat pertama, dan sekarang kamu udah tingkat 5 ke atas (WOI LULUS WOI!), coba minta slide kuliah ke adek kelas kamu, pasti kontennya masih sama.
Oke, nggak semua dosen begitu. Ada juga dosen-dosen kita yang selalu 'niat mengajar' dan 'niat membimbing' kita. Dan kita semua mengidolakan dosen seperti mereka :)
Anyway, gue lanjutin ke topik.
Dari buku bacaan yang gue baca, dosen-dosen mereka (Bill & Mark), selain mengajarkan materi pokok kuliah (yang tentunya tidak membuat mereka tertarik), mereka juga menyampaikan ke mahasiswa, rencana apa yang akan mereka tempuh setelah kuliah, dan dengan terbuka hati menyampaikan bahwa, "Knowledge yang saya ajarkan di bangku kuliah, tidak menjamin masa depan kalian,"
Dosen-dosen mereka sangat honest, menggambarkan dunia kerja yang penuh persaingan, menyampaikan bahwa mahasiswa harus punya sikap dan knowledge khusus agar punya 'skill pembeda', tapi kemudian tidak menuntut mahasiswa harus bisa ini dan itu ketika di kampus, justru mereka menasihati agar keluar dari zona nyaman, menasihati mahasiswa untuk berani mengambil risiko hidup dengan "Do what you love to do."
Nah, gimana dengan kebanyakan kampus di negeri kita? Gue sih nggak mau men-generalisir, tapi bener nggak? Dosen kita itu kebanyakan tugasnya sangat kaku, yaitu, menuntut semua mahasiswa bisa menguasai knowledge yang sama. Jadi pas mahasiswanya lulus, ribuan mahasiswa yang punya knowledge yang sama tadi, 'dipaksa' bersaing untuk mengisi satu bangku lowongan kerja. Apalagi, sekarang kuliah wajib hadir 100%, bisa dibayangkan, gimana caranya mahasiswa punya waktu untuk mencari 'knowledge' yang lain? (Knowledge = waktu buat jalan-jalan ke mol)
Nggak heran kan, kalo kampus itu mirip mesin fotocopy.
---
Duh, daritadi ngebahas kampus mulu, takut dosa ah.
Ternyata, fyi, satu sikap yang dimiliki oleh orang-orang yang berhasil itu adalah tidak hanya think out of the box, melainkan berani untuk jump out of the box (R. Kasali).
Yups. mahasiswa juga harus bisa mengambil sikap, dan juga berani mengambil risiko. "Dimana ngambilnya, Sam? Di rektorat!"
Akhir dari posting ini, semoga bisa bermanfaat, tapi kalo kamu merasa terprovokasi dan marah, kamu boleh banting leptop kamu, aku ikhlas :)