
Pidato Mahasiswa Lulusan Terbaik
Bisa dipastikan, mahasiswa yang setuju dengan kata-kata itu adalah mahasiswa yang IPK-nya nangkring. Iya kan? Udah ngaku aja lo?! Dasar cemen.
Sedangkan orang-orang yang nggak setuju dengan statement di atas, di antaranya; 1) Mahasiswa yang IPK-nya terlanjur gede, 2) Mahasiswa yang lagi berjuang nge-gedein IPK-nya, 3) Dosen, 4) Tukang fotocopy -yaiyalah.
Pun ketika ngebaca banyak artikel yang ngebahas tentang IPK dan persaingan di dunia kerja, kebanyakan artikel juga membahas bahwa, minimal untuk bisa bekerja di perusahaan bonafit seenggaknya IPK dijaga jangan kurang dari 3,00.
Terus gimana nasib sarjana yang IPK-nya kurang dari itu? Berarti sarjana-sarjana yang nganggur itu adalah sarjana yang IPK-nya kurang dari 3,00?
Dari statement begitu, muncullah keparnoan di lubuk hati para mahasiswa, yang berujung pada kerjaan mereka di kampus yang cuma kuliah, dapet nilai bagus, biar kerja di perusahaan bagus.
Hehe,
Bagi gue, mereka nggak salah, tapi kasian aja, kesannya mereka nggak bisa menikmati masa-masa indah di kuliah, hoek.
Gimana nggak, di kampus kerjaannya kuliah terus, nggak ada waktu untuk mengembangkan diri, nggak sempat punya cerita 'catatan-catatan kuliah'. Belum lagi kalo mahasiswanya salah jurusan -terus aja maksain diri berjuang di bidang yang nggak disuka. Mereka bukanlah mahasiswa yang pintar, tapi mahasiswa yang ketakutan.
---
Beberapa minggu lalu, gue menghadiri undangan kampus sebagai alumnus, di acara wisudaan adik kelas. Lumayan dapet snack gratis, nggak lupa gue bawa gerobak buat angkut nasi box yang nggak kemakan.
Hari itu, gue melihat wajah-wajah wisudawan yang begitu ceria dan bahagia, mereka begitu polos. Walau udah ketebak, paling besok udah pada melakukan praktek bunuh diri karena ditanya terus, "Kapan kerja?"
Seperti biasa, dalam acara seremonial seperti itu, selalu ada pidato dari mahasiswa lulusan terbaik. Biasanya isi pidato mereka seputar ucapan syukur, terima kasih, dan motivasi. Sangat formalitas. Mahasiswa lulusan terbaik, selalu mereka yang punya IPK paling tinggi. Entah penilaiannya memang hanya sekedar IPK, atau memang ada penilaian secara khusus dari kampus.
Apa yang disampaikan mereka selalu sama setiap tahun. Jarang ada yang berkesan, atau yang bisa bikin audience nangis-nangis kayak abis nonton pelem Korea. Padahal, di setiap undangan serupa, gue pengin ada mahasiswa lulusan terbaik yang lebih 'berani' dan 'jujur' tentang perasaan mereka yang sesaat lagi akan berhadapan dengan realita.
Saat-saat kayak gini, gue selalu menyesali diri, dan mulai berandai-andai.
Seandainya waktu wisuda dulu gue yang dikasih kesempatan berpidato, gue akan berusaha mewakili semua perasaan para wisudawan, gue akan berusaha lebih jujur tentang apa yang gue rasa, daripada hanya sekedar menyampaikan pidato formal belaka.
Mungkin pidato gue akan seperti ini,
"Yang terhormat, Dekan beserta jajarannya, dosen yang saya cintai dan tidak saya cintai, untuk temen saya, sahabat saya, dan mantan-mantan saya... oiya, saya nggak punya mantan,
Assalamualaikum wr wb, dan salam sejahtera bagi kita semua.
Hari ini saya berdiri di hadapan ratusan orang, di mana biasanya mahasiswa yang punya kesempatan berbicara seperti ini, pasti akan menyampaikan 3 hal umum, 1) terima kasih kepada dosen, orang tua dan kampus, 2) suka cita selama berkuliah, 3) dan kalimat motivasi, yang saya tau pasti dia copy-paste dari kata-kata Mario Teguh.
Yang sayang sekali mereka lupa, kalau Google dan Wikipedia, lebih banyak membantu daripada dosen-dosen mereka, dan indomie telor lebih sering menemani saat skripsi daripada temen mereka sendiri. Dasar tidak tau terima kasih.
Kali ini, saya akan mencoba lebih jujur pada diri saya sendiri, walau sebenarnya saya takut menyampaikan ini, bisa-bisa saya batal wisuda. Tapi saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa hal ini perlu dan penting saya sampaikan. Saya ingin menyampaikan tentang apa yang saat ini benar-benar saya rasakan.
Saya melakukan banyak hal untuk mempersiapkan diri ketika lulus nanti, terima kasih untuk dosen dan kampus yang mengajarkan saya banyak hal, saya menjadi pribadi yang rajin menulis, menghitung, merangkum, membuat laporan, dan hal lain yang bisa saya kerjakan agar nilai saya baik dan bagus untuk melamar pekerjaan bagus nantinya.
Saya tidak berbeda dengan teman-teman yang lain, kita diajarkan pelajaran yang sama, kita punya skill yang sama, walau mungkin angka prestasi kita yang berbeda. Namun dari kesamaan itu, saya berpikir jika kita semua berkompetisi untuk satu bangku lamaran pekerjaan yang sama, apa bedanya kita seperti orang kelaparan yang berebut sepiring nasi, saya tidak suka kompetisi seperti itu, saya lebih mengharapkan agar saya diajarkan untuk saling merangkul. Tapi saat ini, saya bingung harus bagaimana.
Sejak awal saya kuliah, dosen, teman, orang tua, alumni, selalu mewanti-wanti saya agak mempertahankan nilai di batas standar tertentu untuk menjamin pekerjaan yang baik setelah wisuda. Seakan memaksa saya untuk berpikir bahwa, tidak ada karier yang baik apabila saya lulus dibawah nilai standar, yang membuat saya menjadi semakin takut, dan semakin giat masuk kuliah dan menghafal.
Apakah nilai kuliah yang bagus itu menandakan kita lebih pintar? Tidak, karena ujian kuliah saat ini tidak berhubungan dengan kepintaran, tapi daya ingat.
Setiap kali saya menerima transkrip nilai saya, selalu muncul pertanyaan dalam benak, "Apakah angka ini adalah hal yang benar-benar harus saya perjuangkan?", saya mencoba acuh, saya harus belajar lebih giat lagi, agar aman mencari pekerjaan. Tapi sayang, sampai saat ini, rasa takut itu tidak hilang.
Mungkin perasaan yang saya alami saat ini, akan sama seperti kejujuran Erica Goldson saat dia berpidato dalam moment wisudanya, dia adalah lulusan terbaik di sekolahnya. Dia begitu menginspirasi saya sehingga saya berani berkata jujur seperti ini. Dan hal lain yang membuat saya kagum adalah, dia berpidato saat lulus SMA, masih sangat muda.
Di akhir pidato saya kali ini, saya berharap kita semua sebagai wisudawan, bisa berpikir kembali di luar batasan pemikiran kita, bahwa keberhasilan tidak ditentukan dengan batasan angka, saya pun tidak akan menyerah, karena selalu ada harapan bagi yang berjuang. Itu saja. Maafkan atas kejujuran saya. Terima kasih. Wassalamualaikum wr wb.
Oiya, serius amat?"
Assalamualaikum wr wb, dan salam sejahtera bagi kita semua.
Hari ini saya berdiri di hadapan ratusan orang, di mana biasanya mahasiswa yang punya kesempatan berbicara seperti ini, pasti akan menyampaikan 3 hal umum, 1) terima kasih kepada dosen, orang tua dan kampus, 2) suka cita selama berkuliah, 3) dan kalimat motivasi, yang saya tau pasti dia copy-paste dari kata-kata Mario Teguh.
Yang sayang sekali mereka lupa, kalau Google dan Wikipedia, lebih banyak membantu daripada dosen-dosen mereka, dan indomie telor lebih sering menemani saat skripsi daripada temen mereka sendiri. Dasar tidak tau terima kasih.
Kali ini, saya akan mencoba lebih jujur pada diri saya sendiri, walau sebenarnya saya takut menyampaikan ini, bisa-bisa saya batal wisuda. Tapi saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa hal ini perlu dan penting saya sampaikan. Saya ingin menyampaikan tentang apa yang saat ini benar-benar saya rasakan.
Saya melakukan banyak hal untuk mempersiapkan diri ketika lulus nanti, terima kasih untuk dosen dan kampus yang mengajarkan saya banyak hal, saya menjadi pribadi yang rajin menulis, menghitung, merangkum, membuat laporan, dan hal lain yang bisa saya kerjakan agar nilai saya baik dan bagus untuk melamar pekerjaan bagus nantinya.
Saya tidak berbeda dengan teman-teman yang lain, kita diajarkan pelajaran yang sama, kita punya skill yang sama, walau mungkin angka prestasi kita yang berbeda. Namun dari kesamaan itu, saya berpikir jika kita semua berkompetisi untuk satu bangku lamaran pekerjaan yang sama, apa bedanya kita seperti orang kelaparan yang berebut sepiring nasi, saya tidak suka kompetisi seperti itu, saya lebih mengharapkan agar saya diajarkan untuk saling merangkul. Tapi saat ini, saya bingung harus bagaimana.
Sejak awal saya kuliah, dosen, teman, orang tua, alumni, selalu mewanti-wanti saya agak mempertahankan nilai di batas standar tertentu untuk menjamin pekerjaan yang baik setelah wisuda. Seakan memaksa saya untuk berpikir bahwa, tidak ada karier yang baik apabila saya lulus dibawah nilai standar, yang membuat saya menjadi semakin takut, dan semakin giat masuk kuliah dan menghafal.
Apakah nilai kuliah yang bagus itu menandakan kita lebih pintar? Tidak, karena ujian kuliah saat ini tidak berhubungan dengan kepintaran, tapi daya ingat.
Setiap kali saya menerima transkrip nilai saya, selalu muncul pertanyaan dalam benak, "Apakah angka ini adalah hal yang benar-benar harus saya perjuangkan?", saya mencoba acuh, saya harus belajar lebih giat lagi, agar aman mencari pekerjaan. Tapi sayang, sampai saat ini, rasa takut itu tidak hilang.
Mungkin perasaan yang saya alami saat ini, akan sama seperti kejujuran Erica Goldson saat dia berpidato dalam moment wisudanya, dia adalah lulusan terbaik di sekolahnya. Dia begitu menginspirasi saya sehingga saya berani berkata jujur seperti ini. Dan hal lain yang membuat saya kagum adalah, dia berpidato saat lulus SMA, masih sangat muda.
Di akhir pidato saya kali ini, saya berharap kita semua sebagai wisudawan, bisa berpikir kembali di luar batasan pemikiran kita, bahwa keberhasilan tidak ditentukan dengan batasan angka, saya pun tidak akan menyerah, karena selalu ada harapan bagi yang berjuang. Itu saja. Maafkan atas kejujuran saya. Terima kasih. Wassalamualaikum wr wb.
Oiya, serius amat?"
---
Tapi gue yakin, seandainya gue (atau ada mahasiswa) yang berpidato kayak di atas, pasti orang-orang di auditorium yang tadinya ngobrol, main gadget, atau ngemilin snack, akan berhenti sejenak, hening dan focus mengamati gue yang berpidato dengan hikmat. Dan ketika selesai berpidato, gue yakin, mereka akan berdiri sambil memberikan standing applause (sebuah penghormatan tertinggi), dan tentunya juga ngelemparin gue dengan snack box. "Ngomong apa lo? Mati aja lo!?"
Tapi beneran, gue sangat berharap kepada mahasiswa yang ditunjuk sebagai mahasiswa lulusan terbaik nantinya, jangan sampaikan pidato yang biasa-biasa aja, karena udah terlalu hambar, tapi agar bisa mengeluarkan semua uneg-uneg tanpa ada rasa nggak enakan, sehingga menyampaikan pesan yang lebih jujur, tanpa dibuat-buat.
Bukankah negara ini sudah banyak yang berprestasi? Tapi sedikit yang berani jujur?
Ah udah ah,